Sufyan Ats-Tsauri berkata,"Bila saya menyerang seseorang dengan anak panah, maka itu lebih baik bagiku daripada menyerangnya dengan lidahku karena serangan lidah tidak pernah meleset. Sedangkan bidikan anak panah seringkali luput dari sasaran."
Lidah itu ibarat dua mata pisau yang sangat tajam. Jika kita tidak menggunakannya dengan baik, maka senjata itu akan melukai orang lain, juga melukai diri sendiri. Begitu juga dengan lidah. Jika tidak dipergunakan dengan baik, dengan tutur kata yang baik, juga bisa melukai perasaan orang lain. Lidah memang tidak bertulang, mudah saja membengkokkannya ke sana kemari sejalan perubahan cuaca hati pemiliknya. Luka atau cedera fisik akan lebih mudah diobati dan sembuh, namun sakit hati seseorang akibat perkataan negatif yang ditujukan kepadanya tidak akan segampang itu disembuhkan.
Berapa banyak persahabatan yang terpecah dikarenakan ketajaman lidah, berapa banyak perceraian yang terjadi antara suami istri diakibatkan oleh lidah, berapa banyak tawuran yang terjadi antara sekolah, antara suku, desa yang diakibatkan oleh lidah. Dan masih banyak lagi keburukan yang terjadi karena ulah lidah ini. Entah itu berupa perkataan dusta, mencela, ghibah (bergunjing), adu domba, saksi palsu, mencerca dan lain sebagainya.
Al-Hasan al-Bashri mengatakan bahwa perbedaan antara orang bijaksana dan orang bodoh terletak pada dimana dia meletakkan lidahnya.Menempatkan lidah di belakang hati hingga dia hanya akan mengatakan hal-hal yang dipikirnya mengandung kebaikan dan dirasa tidak akan membahayakan adalah ciri orang yang bijak. Sementara si dungu menjadikan ujung lidah berada di depan akalnya hingga tanpa mau repot-repot memikirkan dampak baik atau buruk yang bisa timbul, dia akan langsung bicara seenak perutnya.
Ada pepatah yang mengatakan "luka karena pedang, jika dibalut akan kembali sembuh sejalan dengan berlalunya waktu, tapi tidak dengan luka yang disebabkan oleh tajamnya lidah".
Oleh karenanya, adanya baiknya kita menjaga lidah kita dari hal hal yang bukan merupakan kepentingan kita, walaupun itu berbentuk gurauan. Karena terkadang, gurauan yang dilontarkan tidak berkenan dihati orang lain sehingga terjadi kesalah pahaman.
Seorang sahabat Rasul SAW, yakni Abu Dzar Al-Ghifari r.a. menasehati,"Jadikan perkataan hanya dua (jenis) kalimat saja, yaitu kalimat yang bermanfaat dalam urusan duniawi dan kalimat yang kekal (manfaatnya) di akhirat." Apabila tak ada kedua jenis kalimat di atas dalam perbendaharaan kita, maka lakukanlah ibadah yang sangat ringan dan nilainya setara dengan tujuh ribu kebaikan, yaitu DIAM.
Subhanalloh,insya Alloh..non
BalasHapus