Rabu, 22 Desember 2010

Ternyata AKu Tak Pernah Menyadarinya






Apakah aku akan menemukan orang yang tepat ?

Pertanyaan itu selalu berkecamuk dikepalaku. Sejak pertama kali mengenal istilah cinta monyet hingga kini aku menginjak usia 24 tahun pun, aku masih saja berkutat pada pertanyaan bodoh ini. Aku sering berpikir, seperti apa sosok yang dapat dikategorikan tepat? Apakah harus memiliki sorot mata indah, lengan kuat, atau hati yang tulus bak malaikat? Aku sering mendengar pula celoteh-celoteh segelintir orang yang memaknai tepat hanya untuk seorang pria yang tampan dan mapan. Benarkah?


Tidak sedikit orang yang bertanya padaku. Kapan aku menikah, kenapa aku belum memiliki seseorang yang spesial. Aku cuma bisa menghela nafas. Gusar dengan semua pertanyaan pertanyaan itu. Bila dua tahun silam, aku masih bisa mengemukakan ketidaksiapan sebagai alasan. Kini alasan itu malah menjadi bumerang bagiku.
“Apa yang membuatmu belum siap? Bukankah usiamu telah matang dan siap.”
Benar. Bila ditinjau dari segi usia aku memang bisa dikategorikan sebagai wanita dewasa yang matang dan siap untuk berkomitmen serius. Tapi apakah karena kata dewasa dan matang itu, aku tak diberi kesempatan untuk mengajukan kriteria tepat bagi orang yang kelak menjadi pasanganku walau dapat aku pastikan pula orang itu pun tidak benar-benar tepat. Apakah orang yang tepat itu benar-benar ada? Lalu siapa yang akan menjadi orang yang tepat bagiku? Atau jangan-jangan aku telah melewatkan orang yang tepat itu?
Aku menarik napas panjang lalu menghembuskannya ke udara.
Perlahan–lahan ingatan membimbingku menjenguk kenangan di masa lalu, tepatnya 12 tahun silam. Cinta monyet. Juga cinta pertamaku. Saat itu, sesosok lelaki yang entah layak atau tidak kuberi label tepat pernah singgah dalam hidupku. Bukan cuma singgah tapi mengisi kekosongan hatiku dengan limpahan kasih sayang. Dia pula yang mengajarkanku merajut mimpi tentang masa depan.
Dia bukan sosok pria yang terlalu tampan. Dia juga tidak memiliki lengan berotot seperti pria idaman pada umumnya. Dia hanya pria biasa biasa saja. Pria biasa yang sangat baik, sabar, ngemong, penuh kelembutan, dan tidak pernah takut meminta maaf jika dia memang merasa melakukan kesalahan. Pria yang bisa terima aku apa adanya. Aku yang tempramental, aku yang kasar, aku yang kritis dan aku yang sedikit liar. Perlahan dia bisa mengubahku menjadi aku yang sekarang.
Azzam. Sesosok lelaki yang sangat aku cintai. Bahkan aku sempat berpikir kalau dia adalah orang yang tepat bagiku. Kami pernah mengukir janji. Malam itu, ketika hujan meteor di langit. Tak lupa kami mengajukan permohonan. Entah karena percaya pada mitos konyol itu atau sekedar memberi kesan menyentuh seperti drama-drama percintaan di layar kaca. Tapi kenangan itu masih tersimpan apik dalam ingatanku.
Sudahkah aku menemukan orang yang tepat ?
Aku bertanya bukan karena merasa tidak cukup atas kehadiran Azzam dan memilih terus melaju menuju perhentian selanjutnya. Tidak. Tapi justru takdir yang menyatakan kalau dia bukan orang yang tepat untukku. Dia pria yang aku anggap waktu itu sebagai orang yang tepat, malah direnggut paksa persis di hari hari terakhir saat kami ingin mengikrarkan janji. Aku cuma bisa termangu dalam tangis yang tak kunjung usai hingga saat ini.
Mungkin aku memang belum menemukan orang yang tepat, menghibur hati. Perlu sedikit kesabaran hingga menemukan orang tepat pada waktu yang tepat. Tapi kapankah waktu dapat dikatakan tepat? Apakah aku masih memiliki waktu? Bila benar, mengapa justru mereka yang diterjang panik dan terus saja menyodorkan pertanyaan menyebalkan itu?
Aku menatap sesosok bayang dalam cermin. Mencoba mencari cari jawaban dari pertanyaan yang terlontar. Tapi bayangan dalam cermin itu hanya diam. Hanya memantulkan bayangan lain didepannya. Tak ada jawaban.
***
Aku pernah mengeluh dengan ultimatum papa suatu pagi.
"Lea, menikahlah. Pria seperti apa lagi yang kamu cari ? "
“Masalah ketidaksiapan akan selalu menghalangi langkahmu, nak. Padahal waktu terus berlalu dan usiamu bertambah. Papa mengerti bila di hatimu masih ada Azzam, tapi jangan biarkan kenangan menghalangimu untuk bahagia." suara Papa melemah.
Aku tersenyum getir. Kenapa untuk urusan pasangan hiduppun aku harus diultimatum papa begini. Tidak berhakkah aku menentukan sendiri pilihanku sampai aku benar benar menemukan orang yang tepat. Ya orang yang tepat. Tapi siapa ? Apakah aku akan menemukannya ? Kacau. Aku galau.
Papa menyodorkan sebuah nama pada secarik kertas. Indra. Aku menggumam. Ternyata papa berniat menjodohkan aku.
"Cobalah pertimbangkan. Dia anak yang baik..!"
"Iya pa... " aku mengangguk.
Tidak ada salahnya mencoba. Setidaknya dengan ini aku bisa menyenangkan hati papa.
Dan hari itu pun datang. Sebuah cincin melingkar dijariku manisku. Saat itu, mereka mengulurkan tangan sebagai ucapan selamat dan memberiku selarik doa. Aku menyambut uluran itu tanpa perasaan apapun. Tak ada linangan air mata tak pula segiris tawa renyah. Sungguh berbeda dengan dongeng-dongeng dalam serial drama percintaan Hollywood.
Lalu, bahagiakah aku? Entahlah. Aku meliriknya sejenak. Dia tersenyum sambil menyambut uluran-uluran tangan mereka. Bahagiakah dia?
******
"Lea, hai.. !
Aku mendengar ada seseorang memanggilku dari seberang jalan. Aku kaget.
"Ranti.. haiii... ! aku melambaikan tangan, setengah berlari menyebarang jalan. Tiba tiba saja dari sebelah kiriku ada mobil yang bergerak cepat. Aku tak sempat menghindar. Tiba tiba semuanya berubah menjadi gelap. Pekat.

******
Sudahkan aku menemukan orang yang tepat?
Sepertinya pertanyaan itu akan selalu memenuhi pikiranku. Atau mungkin takdir telah menggariskan bila aku takkan pernah mampu menjawab karena memang tak pernah menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Atau mungkin pula aku terlalu memusatkan perhatian pada kata tepat sehingga tidak menyadari bila orang tersebut pernah melintas dalam hidupku. Atau jangan-jangan benar kata mereka, ketidakutuhan hati membuatku tak pernah menemukan orang yang tepat. Benarkah aku takkan menemukan orang yang tepat?

******
Aku membuka mata perlahan. Perlahan seberkas sinar silaukan pandanganku. Aku mengedarkan pandanganku disekitar ruangan serba putih. Dimana ini ?
“Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga, Sayang.”
Aku terus menatap sosok itu bahkan ketika dokter memeriksa dan menyatakan kalau kondisiku mulai pulih.
Aku memejamkan mata.
Apa aku telah keliru memaknai kata tepat sehingga tidak pernah menyadari bila telah memiliki hal yang disebut tepat itu.
“Kamu beruntung, Lea. Indra begitu memahamimu dan mencintaimu. Ternyata kamu telah menemukan orang yang tepat.” Penuturan yang sempat mereka cetuskan dengan nada cemburu mengiang kembali dalam anganku.
Benarkah?
Aku membuka mata. Sosok itu kembali membias dalam mataku.
“Kamu tahu, sebenarnya kamu telah menemukan orang yang tepat tapi hatimu hanya tertuju pada Azzam. Benar, kamu tak pernah menuturkan kriteria tepat, tapi cara kamu dengan tak membiarkan Indra mengetuk pintu hatimu, membuatmu tak pernah mengerti makna tepat.” Aku ingat pernyataan Kak Neta sebulan lalu saat aku mengadu tentang kegalauanku.
Aku kembali menatap sosok itu. Ah dia.
Lihatlah, dia setia menemanimu walau berulang kali kau menyodorkan sunyi. Dia berusaha menyajikan tawa walau selalu menuai segiris senyum penuh paksa. Dan kini dia pula yang mendampingimu saat kau benar-benar tak berdaya. Tak pernah lalai menitipkan doa demi kesembuhanmu.
Air mata menggenang lalu perlahan menetes.
“Ada apa ? Kenapa nangis? Apa masih terasa sakit? Dimana?” tanyanya dengan nada cemas saat menemukan setitik bening yang lancang jatuh. Aku menggeleng pelan.
Ternyata aku tak pernah menyadarinya…
Air mataku kian menderas. Sepasang jemari menyentuh pipiku dan mengusapnya dengan lembut.

1 komentar:

  1. tulisan kamu bagus2, sangat jujur dan menyentuh hati, orang yang tepat hanya dapat ditentukan oleh tujuan yang tepat dan cara yang tepat, keduanya merupakan proses dan butuh waktu yang tepat pula..memahami kehidupan ini secara tepat akan membuka otak untuk berpikir dan hati untuk berperasaan secara tepat. Di situlah kita akan menemukan kebenaran yang sejati untuk meraih kesempurnaan hidup pada akhirnya nanti..smg sukses dan tep slalu semangat..

    BalasHapus